Kasus Bank Bali
Kasus Bank Bali Kasus korupsi Bank
Bali berawal pada saat pemilik Bank Bali, Rudi Ramli. Kesulitan menagih
piutangnya pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional, dan
Bank Tiara pada tahun 1997. Nilai dari piutang tersebut sekitar 3 Triliun
Rupiah. Setelah beberapa waktu, usaha penagihan tersebut tidak membawa
hasil. Bahkan ketiga bank tersebut masuk ke dalam daftar bank yang akan “disehatkan”
oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Setelah BPPN menolak tagihan dari Bank
Bali atas piutang 3 bank tersebut dengan alasan tagihannya sudah terlambat atau
lewat batas waktu penagihan, Bank Bali akhirnya menyewa jasa PT. Era Giat
Prima, yang pada saat itu dipimpin oleh Joko Chandra dan Setya Novanto.
Bank Bali dan PT. Era Giat Prima mengadakan perjanjian pengalihan hak tagih
atau Cessie pada januari 1999.
Perjanjian ini menyatakan bahwa separuh piutang yang dapat ditagih akan
diberikan kepada PT. Era Giat Prima sebagai fee.
Direksi PT. Era Giat Prima, Joko dan
Setya. Menggunakan kekuatan dan pengaruh politiknya untuk meloloskan
proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh partai golongan karya (golkar), termasuk Setya
Novanto yang saat itu menjabat bendahara partai golkar, berusaha mengubah
regulasi agar pengucuran dana oleh BPPN atas tagihan tersebut berhasil. Pada 11
Februari 1999, misalnya, terjadi pertemuan rahasia antara Ketua Dewan
Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis, petinggi Era Giat
dan Wakil Direktur Utama Bank Bali, Firman Soetjahja membicarakan soal
penarikan duit dari BPPN. Kepada Tempo, semuanya — kecuali
Firman — saat itu membantah adanya pertemuan di Hotel Mulia tersebut
(Tempo, 13 Agustus 2000).
Setelah pertemuan itu, Bank Indonesia
dan BPPN setuju untuk mengucurkan dana untuk penyelesaian tagihan Bank Bali,
jumlahnya Rp 905.000.000.000. Bank Bali mendapat sekitar 40% dan PT. Era Giat
Prima mendapat 60%.
Adalah pakar hukum perbankan Pradjoto
yang pertama kali mengungkap kasus ini ke mana-mana. Pradjoto “mencium” skandal
cessie ini berkaitan erat dengan
pengumpulan dana oleh Partai Golkar untuk memajukan Habibie ke kursi presiden.
“Fee itu terlalu besar dan
janggal” ungkap Pradjipto kepada Tempo. Satu per satu keganjilan di balik
pencairan duit itu juga terkuak. Cessie
itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk
perawatan BPPN. Cessie itu juga tak
dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain
itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.
Sadar bahwa Cessie tersebut bermasalah, BPPN membatalkan pengucuran dana
tersebut. Kemudian akibat pembatalan itu, Setya Novanto menggugat BPPN ke
Pengadilan Tata Usaha Negara dan menang ditingkat pertama dan tingkat banding,
namun dikalahkan oleh BPPN pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
PT. Era Giat Prima
juga membawa kasus ini ke ranah perdata. Perusahaan itu menggugat Bank Bali dan
Bank Indonesia agar mencairkan dana Rp 546 miliar untuk mereka. Pengadilan,
pada April 2000, memutuskan PT. Era Giat Prima berhak atas uang lebih dari
setengah miliar rupiah itu. Kasus ini terus bergulir ke atas. Lewat putusan
kasasinya, Mahkamah Agung kemudian memutuskan uang itu milik Bank Bali.
Di tengah proses pengadilan tata usaha
negara dan perdata itulah, Kejaksaan Agung lantas “mengambil” kasus ini.
Kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini, antara lain Joko
Tjandra, Syahril, Pande Lubis, Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng. Mereka dituduh
melakukan korupsi uang negara. Kejaksaan menyita uang Rp 546 miliar itu dan
menitipkan ke rekening penampungan (escrow
account) di Bank Bali.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW),
sejumlah pihak pernah tersangkut dalam skandal Bank Bali. Namun, hingga kini
hanya tiga orang yang dijebloskan ke penjara. Sebelum Syahril dan Joko Tjandra,
Wakil Kepala BPPN Pande Lubis lebih dulu dihukum 4 tahun penjara.
Sementara berdasarkan hasil
investigasi ICW tahun 1999, beberapa nama lain yang disebut-sebut diduga kuat
juga terlibat dalam skandal Bank Bali seperti Marimutu Manimaren, Setya
Novanto, Glen Yusuf, Farid Harianto, Bambang Subiyanto, JB Sumarlin,
dan AA Baramuli.
Kendati yang menjadi tersangka lumayan
banyak, ternyata belakangan yang diadili hanya tiga orang: Joko Chandra,
Syahril, dan Pande Lubis.
Kronologi
Kasus
·
26
Januari 1998 Terbit Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1998 tentang jaminan atas kewajiban pembayaran bank umum. Keputusan
ini untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan akibat
likuidasi bank pada 1997.
·
8
Maret 1998 Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama BPPN dan BI, Nomor 1/BPPN/1998 dan Nomor 30 /270/KEP/DIR berisi petunjuk
pelaksanaan penjaminan.
·
18
Maret 1998 Bank Bali mengirim surat ke BDNI untuk
minta konfirmasi soal utang-utangnya yang jatuh tempo pada 2 Maret 1998
sampai 16 Maret 1998 (6 transaksi).
·
9
Juli 1998 Tim manajemen BDNI melalui suratnya
menyatakan, klaim atas kewajiban BDNI ke Bank Bali sudah diajukan ke BPPN.
·
21
Oktober 1998 Bank Bali kirim surat ke BPPN
perihal tidak terbayarnya tagihan piutang di BDNI dan BUN yang timbul dari
transaksi money market, SWAP, dan pembelian promissory notes. Tagihan pada BDNI
(belum dihitung bunga) Rp 428,25 miliar dan US$ 45 juta. Sedangkan tagihan ke
BUN senilai Rp 200 miliar.
·
27
Oktober 1998 BI menyampaikan secara tertulis ke
tim pemberesan BDNI tentang penolakan untuk memproses lebih lanjut klaim Bank
Bali dengan alasan klaim belum didaftar dan terlambat mengajukan klaim, satu
klaim tidak terdaftar, dan satu klaim ditolak karena tidak termasuk dalam jenis
kewajiban yang dijamin (transaksi forward-sell)
senilai Rp 1,131 miliar.
·
23
Desember 1998 Bank Bali kembali mengirim surat
ke BPPN perihal tagihan piutang ke BDNI dan BUN tidak kunjung berhasil. Bank
Bali juga meminta BPPN membantu memecahkan masalah ini.
·
11
Januari 1999 Bank Bali dan PT Era Giat Prima
(EGP) meneken perjanjian pengalihan (cessie)
tagihan piutang ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp
798,09 miliar. Disepakati paling lambat tiga bulan kemudian tagihan itu sudah
diserahkan ke Bank Bali. Kemudian, Bank Bali juga menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT Era Giat
Prima Setya Novanto. Bank Bali menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya di
BDNI, BUN, dan Bank Bira ke PT EGP. Total tagihan itu mencapai Rp 3 triliun.
·
12
Januari 1999 Wakil Ketua BPPN Pande Lubis
mengirim surat ke Bank Bali. Isinya, BPPN sedang mengumpulkan dan mempelajari
data mengenai transaksi Bank Bali untuk mencari pemecahan masalah.
·
15
Februari 1999 BPPN meminta bantuan BI untuk
melakukan verifikasi atas tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN dari segi kewajaran
dan kebenarannya.
·
16
Februari 1999 BI tolak usulan Pande Lubis untuk
meneliti kembali klaim Bank Bali karena sebelumnya BI sudah menyatakan secara
administrasi tidak berhak.
·
18
Februari 1999 Pande Lubis mengeluarkan memo
kepada Erman Munzir yang berisi usulan untuk memeriksa ulang klaim Bank Bali.
Erman kemudian mengaku telah minta Direktur UPMB I memprioritaskan klaim Bank
Bali.
·
22
Maret 1999 BI melakukan verifikasi terhadap
tagihan-tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN. Hasilnya, antara lain, tidak
ditemukan indikasi ketidakbenaran dan ketidakwajaran transaksi SWAP, forward dan L/C antara Bank Bali dengan
BDNI, transaksi pembelian promes yang di-endorse
BUN belum sesuai dengan prinsip praktek perbankan yang berhati-hati.
·
29
Maret 1999 PT EGP memberikan surat kuasa ke Bank Bali
untuk dan atas nama PT EGP menagih ke BUN piutang beserta bunganya sebesar Rp
342,919 miliar dan mengkreditkannya ke rekening perusahaan itu. Hal serupa
dilakukan terhadap penagihan piutang beserta bunganya ke BDNI yang besarnya Rp
1, 277 triliun dan mengkreditkannya ke rekening PT EGP.
·
1
April 1999 Bank Bali mengirim surat ke BPPN.
Isinya ralat tentang jumlah tagihan ke BDNI dan BUN.
·
9
April 1999 BPPN menolak klaim tagihan Bank Bali
terhadap BUN. Pengecualian terhadap BDNI. Meski begitu, harus ada persetujuan
dari Bank Indonesia atau Menteri Keuangan.
·
14
Mei 1999 Revisi Surat Keputusan Bersama Program
Penjaminan Pemerintah:
·
Keterlambatan
administratif bisa diterima selama tagihan valid.
·
Pengajuan klaim dapat
dilakukan oleh salah satu pihak, baik debitor atau kreditor.
·
Ketidakberlakuan
penjaminan diperluas sehingga mencakup kewajiban yang berasal dari pihak
terkait.
·
Dana publik yang
berasal dari perusahaan Asuransi dan Dana pensiun dikeluarkan dari kelompok
pihak terkait.
·
1
Juni 1999 BPPN meminta BI melakukan pembayaran
dana antarbank BB sebesar Rp 904 miliar. Dana Rp 904 miliar dari BI mengucur ke
rekening BB di BI (piutang berikut bunganya).
·
3
Juni 1999 BPPN instruksikan transfer dana dari
rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798
miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower,
Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening
PT EGP di BNI Kuningan).
·
9
Juni 1999 Setelah uang keluar dari BI, janji PT
EGP menyerahkan surat-surat berharga pemerintah yang harusnya jatuh tempo
pada 12 Juni 1999 malah diubah dalam perjanjian penyelesaian. Isinya,
Bank Bali agar memindahbukukan dana sebesar Rp 141 miliar ke PT EGP. Alasannya,
tagihan Bank Bali dari BI hanya Rp 798 miliar, sehingga dikurangkan saja dengan
uang yang mengalir dari BI sebesar Rp 904 miliar.
·
20
Juli 1999 Standard
Chartered Bank melaporkan hasil due
diligence dan menemukan:
·
Terjadi tambahan
kerugian akibat pembayaran keluar dari bank sebesar Rp 546 miliar sehubungan
dengan klaim antarbank sebesar Rp 905 miliar.
·
Adanya usaha penjualan
aset-aset bank oleh manajemen, BPPN menolak untuk menerima kerugian tambahan
tersebut sebagai bagian dari rekapitalisasi.
·
23
Juli 1999 Penyerahan Bank Bali dari Bank
Indonesia ke BPPN berdasarkan SK Gubernur BI no 1/14/Kep Dpg/1999 menyusul
terlampauinya batas waktu pencapaian kesepakatan antara Standard Chartered Bank dan pemegang saham Bank Bali.
·
30
Juli 1999 Ahli hukum perbankan Pradjoto
membeberkan jaringan money politics,
dalam transaksi penagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI, BUN dan Bank Bira
senilai Rp 3 triliun, yang melibatkan Setya Novanto (Dirut PT EGP), dengan
dugaan adanya dukungan sejumlah pejabat tinggi negara.
·
5
Agustus 1999 BPPN membentuk tim investigasi di
bawah pengawasan International Review
Committee untuk menginvestigasi kebenaran transaksi cessie, meneliti dasar hukumnya, menelaah proses pengambilan
keputusan atas transaksi, melakukan pemeriksaan, penelitian, pengumpulan
data, dan penyelidikan terhadap pengalihan dana yang dilakukan Bank Bali ke PT
EGP.
·
27
September 1999 Pejabat sementara Jaksa Agung
Ismudjoko SH mengungkapkan, tim penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin ketua
tim Pengkaji Pidana Khusus Ridwan Mukiat siap menyidik skandal Bank Bali dengan
mencoba memanggil orang-orang yang diduga terkait dalam kasus Bank Bali.
·
7
Oktober 1999 Presiden BJ Habibie telah
menyetujui pemeriksaan tiga pejabat tinggi di kabinet waktu itu, salah satunya
Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, sebagai saksi dalam kasus skandal Bank
Bali.
·
29
November 1999 Kejaksaan Agung menyatakan telah
menerima surat izin pemeriksaan Syahril Sabirin. Pemeriksaan Syahril menjadi
menarik setelah Wakil Dirut Bank Bali Firman Soetjahja saat diperiksa tim
penyidik mengakui adanya pertemuan di Hotel Mulia pada 11 Februari 1999 yang
membahas soal cessie.
·
5
Juni 2000 Gubernur BI Syahril Sabirin resmi jadi
tersangka kasus Bank Bali. Dia dipersalahkan tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian yang merupakan prinsip perbankan.
·
21
Juni 2000 Syahril Sabirin ditahan di Kejaksaan
Agung.
·
28
Agustus 2000 Majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang diketuai Soedarto membebaskan Joko dari tuntutan hukum.
Majelis berpendapat, kasus Joko bukan termasuk pidana, melainkan perdata.
Sebelumnya, jaksa Antasari Azhar menuntutnya 18 bulan penjara.
·
28
Juni 2001 Mahkamah Agung kembali memenangkan Djoko
S. Tjandra. Majelis Hakim Agung memperkuat argumentasi majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Namun, satu anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar,
mengajukan dissenting opinion dengan
menyatakan Djoko bersalah melakukan korupsi.
·
13
Maret 2002 Syahril Sabirin divonis bersalah oleh
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dihukum tiga tahun penjara.
·
Maret
2002 Mahkamah Agung menolak gugatan EGP di
PTUN yang meminta agar surat keputusan mengenai pembatalan pengalihan tagihan
Bank Bali ke EGP oleh BPPN dicabut.
·
Agustus
2002 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
membebaskan Syahril Sabirin dari semua dakwaan.
·
12
Juni 2003 Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa
uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat
ke BPPN untuk minta petunjuk.
·
17
Juni 2003 Direksi Bank Permata meminta fatwa MA
atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
·
19
Juni 2003 BPPN minta fatwa MA dan penundaan eksekusi
putusan MA yang membebaskan Joko S. Tjandra. Alasannya, ada dua putusan MA yang
bertentangan.
·
25
Juni 2003 Fatwa MA untuk direksi Bank Permata
keluar. Isinya, MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi.
Kerugian Negara Akibat Kasus Bank Bali
Berdasarkan pemaparan diatas, kerugian yang diderita
oleh Negara akibat kasus cessie Bank
Bali adalah Rp 546.166.116.369. Hal ini dikarenakan uang yang dikucurkan untuk
penyelesaian pinjaman antar Bank oleh Negara melalui BPPN tidak dilakukan
melalui prosedur yang benar dan regulasi atas penyelesaian pinjaman itu
telah “dibolak - balik” melalui cara-cara politik agar meloloskan
niatan para tersangka.
Berikut adalah ringkasan topik mengenai kasus
Bank Bali:
1.
Waktu berlangsungnya peristiwa tersebut: 26 Januari 1998 sampai 25 Juni
2003
2.
Orang yang terlibat terkait kasus Bank Bali: Djoko Soegiarto Tjandra, Setya Novanto,
Syahril Sabirin, Pande Lubis, Rudy Ramli, Tanri Abeng, Marimutu Manimaren, Glen
Yusuf, Farid Harianto, Bambang Subiyanto, JB Sumarlin, dan Agung
Arnold Baramuli.
3.
Aliran dana hasil kejahatan pada kasus Bank Bali dan jumlahnya: Kasus
korupsi Bank Bali berawal pada saat pemilik Bank Bali, Rudi Ramli. Kesulitan
menagih piutangnya pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum
Nasional, dan Bank Tiara pada tahun 1997. Nilai dari piutang tersebut sekitar 3
Triliun Rupiah. Setelah beberapa waktu, usaha penagihan tersebut tidak
membawa hasil. Bahkan ketiga bank tersebut masuk ke dalam daftar bank yang akan
“disehatkan” oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
4.
Perkiraan kerugian yang dialami oleh Negara: Kerugian yang dialami oleh
Negara akibat kasus Bank Bali adalah Rp 546.166.116.369.
5.
Posisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi politik, pemerintahan
atau badan usaha: Djoko Soegiarto Tjandra dan
Setya Novanto (Direksi PT. Era Giat Prima), Syahril Sabirin (Gubernur
BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli (Direktur Utama Bank
Bali), Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN), Marimutu Manimaren (Wakil
Bendahara Partai Golkar), Glen Yusuf (Kepala BPPN), Farid Harianto (Mantan
Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional), Bambang Subiyanto (Menteri
Keuangan), JB Sumarlin (Kepala Badan Pengusahaan Batam), dan Agung
Arnold Baramuli (Ketua Dewan Pertimbangan Agung).
6.
Hukuman yang diberikan kepada terpidana: Pande Lubis dihukum empat tahun
penjara berdasar putusan MA tahun 2004.
7.
Orang-orang yang lolos dalam kasus Bank Bali: Djoko Soegiarto Tjandra,
Setya Novanto, Syahril Sabirin, Rudy Ramli, Tanri Abeng, Marimutu Manimaren, Glen
Yusuf, Farid Harianto, Bambang Subiyanto, JB Sumarlin, dan Agung
Arnold Baramuli.
Daftar Pustaka