Jumat, 27 Maret 2020

Akun. Forensik & Audit Investigatif

5 LEMBAGA SURVEY INTERNASIONAL


1.      CPI – Corruption Perception Index
a.       Tujuan dilakukannya survey:
1)      Untuk mengakhiri dampak buruk yang dahsyat dari korupsi terhadap manusia di seluruh dunia.
2)      Menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas korupsi.
b.      Yang menjadi objek surveynya adalah Negara-negara di Dunia.
c.       Hasil survey tahun terakhir 2019.

Gambar 1.1


Gambar 1.2

d.       Pendapat atau ulasan atas hasil survey.
Dari gambar 1.1 dapat dilihat bahwa suatu negara dapat dikatakan bersih dan terbebas dari korupsi apabila menurut rentang skor mulai dari nilai 0 – 100 yang berarti mulai dari kategori sangat korup sampai sangat bersih. Negara yang melakukan tingkat korupsi tertinggi menurut data diatas adalah Negara Somalia dengan skor sebesar 9 dan peringkat terakhir dari 180 negara dan Negara yang melakukan tingkat korupsi terendah adalah Negara Denmark, New Zealand dengan skor sebesar 87 dan peringkat pertama dari 180 negara.
Sedangkan dari gambar 1.2 diatas dapat dilihat bahwa Negara New Zealand memiliki peringkat teratas di ASIA PACIFIC dengan skor rata-rata 45/100 . Negara New Zealand memiliki peringkat ke-1 dengan skor sebesar 87, sedangkan Indonesia sendiri berada diperingkat ke-85 dengan skor 40 dan Afghanistan menjadi peringkat terkahir dengan skor 16 pada data CPI 2019 di ASIA PACIFIC.

2.      GCB - Global Corruption Barometer.
a.       Tujuan dilakukannya survey: menunjukkan hasil survey terkait korupsi yang menyatakan bahwa keberpihakan anggota legislatif terhadap whistleblower dan mampu membrantas korupsi berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di masing-masing negara.  
b.      Yang menjadi objek surveynya adalah hampir 22.000 responden rumah tangga (≥ 18 tahun) di 16 negara Asia Pasifik.
c.       Hasil survey tahun terakhir 2017.

Gambar 1.3
d.       Pendapat atau ulasan atas hasil survey.
Dari gambar 1.3 diatas dapat dilihat bahwa menurut data Bribery Rates Across The Asia Pasific Region atau Tingkat Suap di Seluruh Wilayah Pasifik Asia berdasarkan rentang skala persentasi orang-orang yang melakukan penyuapan ketika mengakses pelayanan dasar pada gambar diatas suatu negara dapat dikatakan bersih dan terbebas dari tingkat suap apabila menurut rentang skor mulai dari nilai 0% – 100% yang berarti kategori mulai dari paling tinggi melakukan penyuapan sampai sangat bersih dan terbebas dari melakukan penyuapan. Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa Negara Jepang adalah negara yang sangat bersih dan terbebas dari melakukan penyuapan dengan tingkat presentase sebesar 0.2%. Sementara Negara India adalah negara yang memiliki angka presentase paling tinggi melakukan penyuapan yakni sebesar 69%.
Menurut hasil survey diatas seharusnya pemerintah disetiap negara lebih ditekankan lagi dan dipertegas lagi aturan hukumnya dalam implementasi pada saat di lapangan atau mekanisme dalam pelayanan dasar agar tidak melakukan penyuapan serta memperketat sistem mekanisme pelaksaaan langsung dalam lapangan dan sistem pengawasan terhadap para pelaku yang ingin melakukan penyuapan.

3.      BPI - Bribe Payer Index.
a.       Tujuan dilakukannya survey: untuk mengukur kecenderungan suatu perusahaan untuk melakukan tindakan suap di negara lain. 
b.      Yang menjadi objek survey Pelaku Bisnis dari 28 Negara terpilih.
c.       hasil survey tahun terakhir tahun 2011.

Gambar 1.4


Gambar 1.5



d.       Pendapat atau ulasan atas hasil survey.
Dari gambar 1.4 diatas dapat dilihat bahwa menurut data Bribe Payer Index pada tahun 2011 negara diberi skor pada skala 0-10, di mana skor maksimum 10 sesuai dengan pandangan bahwa perusahaan dari negara itu tidak pernah menyuap di luar negeri dan 0 sesuai dengan pandangan yang selalu mereka lakukan. Negara Netherlands memiliki skor dengan nilai sebesar 8.8 dan merupakan urutan pertama dari 28 negara. Berdasarkan keterangan dari gambar diatas bahwa negara ini adalah negara yang tidak melakukan penyuapan. Sementara Negara Russia memiliki skor dengan nilai sebesar 6.1 dan merupakan urutan terakhir dari 28 negara. Berdasarkan keterangan dari gambar diatas bahwa negara ini adalah negara yang melakukan penyuapan paling banyak jika dibandingi dengan 28 negara lainnya yang diteliti.
Dan dari gambar 1.5 diatas  adalah data perkembangan dari Bribe Payer Index Score dan Bribe Payer Index Rank  pada tahun 2008 dan 2011. Berdasarkan Bribe Payer Index Score Negara Netherlands mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2011 yang memiliki skor dengan nilai sebesar 8.8  dan pada tahun 2008 memiliki skor dengan nilai sebesar 8.7. Berdasarkan Bribe Payer Index Rank Negara Netherlands mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2011 peringkat ke-1  dan pada tahun 2008 peringkat ke-3. Namun berdasarkan Bribe Payer Index Score Negara Russia mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2011 yang memiliki skor dengan nilai sebesar 6.1  dan pada tahun 2008 memiliki skor dengan nilai sebesar 5.9. Berdasarkan Bribe Payer Index Rank Negara Russia tetap bertahan pada peringkatnya yang ke-22.
Menurut hasil survey diatas pemerintah seharusnya bertindak tegas terhadap kasus penyuapan dan lebih diperketat lagi pengawasan secara langsung oleh pihak-pihak atau lembaga yang bertugas sebagai dewan pengawas dalam praktik bisnis. Agar mampu meminimalisir resiko terjadinya kasus penyuapan.

4.      PERC - Political and Economic Risk Consultancy
a.       Tujuan dilakukannya survey adalah memberikan informasi dan analisis bisnis strategis bagi perusahaan yang melakukan bisnis di Asia Timur dan Tenggara. PERC menghasilkan berbagai laporan risiko di negara-negara Asia, memberikan perhatian khusus pada variabel sosial-politik kritis seperti korupsi, risiko hak kekayaan intelektual, kualitas tenaga kerja, dan kekuatan sistemik lainnya serta kelemahan masing-masing negara Asia.
b.      Yang menjadi objek survey adalah contoh actual dari jenis analisis, penelitian, dan layanan lain yang disediakan oleh PERC.
c.       Hasil survey tahun terakhir pada tahun 2018.
Di bawah ini adalah bagan yang menunjukkan bagaiman nasib negara-negara lain. Nilai diskalakan dari 0 hingga 10, dengan 0 sebagai nilai terbaik dan 10 menjadi terburuk. 


Gambar 1.6


d.       Pendapat atau ulasan atas hasil survey.
Sejak awal, PERC secara konsisten menempatkan Singapura sebagai negara dengan tingkat korupsi paling rendah dari 16 negara yang disurvey. Pada 2018, Singapura mencapai skor 1,90, terendah di antara negara-negara yang disurvey. Dapat kita lihat Indonesia memiliki nilai tingkat korupsi yang tinggi karna memang sampai saat ini masih sering terjadi kasus korupsi yang selalu melanda di Indonesia.
Dalam hal ini peran pemerintah seharusnya lebih bertindak tegas terhadap aturan-aturan hukum yang memberatkan oknum agar tidak melakukan tindak criminal korupsi, melakukan pengawasan yang ketat pada lapangan praktik bisnis, dan membentuk karakteristik badan hukum  atau lembaga hukum yang tegas dan tidak toleran terhadap pelaku korupsi tersebut.


5.      GCI - Global Competitiveness Index
a.       Tujuan dilakukannya survey: GCI 4.0 adalah produk dari agregasi 103 indikator individual, berasal dari kombinasi data dari organisasi internasional maupun dari Dunia Survey Opini Eksekutif Forum Ekonomi. Indikator diatur dalam 12 'pilar': Lembaga; Infrastruktur; Adopsi TIK; Stabilitas makroekonomi; Kesehatan; Keterampilan; Pasar produk; Pasar tenaga kerja; Sistem keuangan; Pasar ukuran; Dinamika bisnis; dan kemampuan Inovasi.
b.      Yang menjadi objek survey adalah Lembaga; Infrastruktur; Adopsi TIK; Stabilitas makroekonomi; Kesehatan; Keterampilan; Pasar produk; Pasar tenaga kerja; Sistem keuangan; Pasar ukuran; Dinamika bisnis; dan kemampuan Inovasi.
c.       Hasil survey tahun terakhir tahun 2019.



 Gambar 1.7

d.       Pendapat atau ulasan atas hasil survey.
Berdasarkan gambar diatas data perkembangan menurut hasil survey dari Global Competitiveness Index 4.0 pada tahun 2018 dan tahun 2019. Negara Singapore masuk ke dalam urutan peringkat 10 besar dan menduduki peringkat pertama. Negara Singapura adalah ekonomi paling kompetitif di dunia pada tahun 2019, mengalahkan Amerika Serikat yang berada di peringkat ke-2. Hong Kong SAR berada di peringkat ke-3, Belanda berada di peringkat ke-4 dan Swiss berada di peringkat ke-5 yang menjadi lima besar. Negara Singapore mengalami peningkatan skor sebesar 1.3 yaitu pada tahun 2018 yang memiliki skor dengan nilai sebesar 83.5 dan pada tahun 2019 memiliki skor dengan nilai sebesar 84.8. Jarak ke perbatasan dari rata-rata global juga mengikuti angka skor dengan angka rata-rata global, Negara Singapore pada tahun 2018 memiliki nilai sebesar 16.5 dan pada tahun 2019 sebesar 15.2. Sementara Negara Denmark masuk ke dalam urutan peringkat 10 besar juga tetapi negara ini menduduki peringkat terbawah yakni peringkat ke-10. Negara Denmark tidak mengalami peningkatan ataupun penurunan pada skornya sebesar 0.6 karna masih dibawa angka 1 pada skor yang diamati yaitu pada tahun 2018 yang memiliki skor dengan nilai sebesar 80.6  dan pada tahun 2019 memiliki skor dengan nilai sebesar 81.2 Jarak ke perbatasan dari rata-rata global juga mengikuti angka skor dengan angka rata-rata global, Negara Singapore pada tahun 2018 memiliki nilai sebesar 19.4 dan pada tahun 2019 sebesar 18.8.
Dalam hal ini pemerintah perlu menggalakkan pentingnya untuk membuka usaha sendiri atau ekonomi kreatif pada masyarakat. Pemerintah juga harus selalu meningkatkan perekonomian dan menjaga stabilitas perekonomian di negaranya agar mampu bersaing lebih baik lagi dari negara-negara lainnya.




DAFTAR PUSTAKA

Jumat, 20 Maret 2020

Kasus Bank Bali



Kasus Bank Bali

          Kasus Bank Bali Kasus korupsi Bank Bali berawal pada saat pemilik Bank Bali, Rudi Ramli. Kesulitan menagih piutangnya pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara pada tahun 1997. Nilai dari piutang tersebut sekitar 3 Triliun Rupiah. Setelah  beberapa waktu, usaha penagihan tersebut tidak membawa hasil. Bahkan ketiga bank tersebut masuk ke dalam daftar bank yang akan “disehatkan” oleh Badan Penyehatan Perbankan  Nasional.
          Setelah BPPN menolak tagihan dari Bank Bali atas piutang 3 bank tersebut dengan alasan tagihannya sudah terlambat atau lewat batas waktu penagihan, Bank Bali akhirnya menyewa jasa PT. Era Giat Prima, yang pada saat itu dipimpin oleh Joko Chandra dan Setya  Novanto. Bank Bali dan PT. Era Giat Prima mengadakan perjanjian pengalihan hak tagih atau Cessie pada januari 1999. Perjanjian ini menyatakan bahwa separuh piutang yang dapat ditagih akan diberikan kepada PT. Era Giat Prima sebagai fee.
          Direksi PT. Era Giat Prima, Joko dan Setya. Menggunakan kekuatan dan pengaruh  politiknya untuk meloloskan proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh partai golongan karya (golkar), termasuk Setya Novanto yang saat itu menjabat bendahara partai golkar, berusaha mengubah regulasi agar pengucuran dana oleh BPPN atas tagihan tersebut berhasil. Pada 11 Februari 1999, misalnya, terjadi pertemuan rahasia antara Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis, petinggi Era Giat dan Wakil Direktur Utama Bank Bali, Firman Soetjahja membicarakan soal penarikan duit dari BPPN. Kepada Tempo, semuanya —  kecuali Firman — saat itu membantah adanya pertemuan di Hotel Mulia tersebut (Tempo, 13 Agustus 2000).
          Setelah pertemuan itu, Bank Indonesia dan BPPN setuju untuk mengucurkan dana untuk penyelesaian tagihan Bank Bali, jumlahnya Rp 905.000.000.000. Bank Bali mendapat sekitar 40% dan PT. Era Giat Prima mendapat 60%.
          Adalah pakar hukum perbankan Pradjoto yang pertama kali mengungkap kasus ini ke mana-mana. Pradjoto “mencium” skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan dana oleh Partai Golkar untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. “Fee itu terlalu besar dan  janggal” ungkap Pradjipto kepada Tempo. Satu per satu keganjilan di balik pencairan duit itu  juga terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.
          Sadar bahwa Cessie tersebut bermasalah, BPPN membatalkan pengucuran dana tersebut. Kemudian akibat pembatalan itu, Setya Novanto menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan menang ditingkat pertama dan tingkat banding, namun dikalahkan oleh BPPN pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
PT. Era Giat Prima juga membawa kasus ini ke ranah perdata. Perusahaan itu menggugat Bank Bali dan Bank Indonesia agar mencairkan dana Rp 546 miliar untuk mereka. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan PT. Era Giat Prima berhak atas uang lebih dari setengah miliar rupiah itu. Kasus ini terus bergulir ke atas. Lewat putusan kasasinya, Mahkamah Agung kemudian memutuskan uang itu milik Bank Bali.
          Di tengah proses pengadilan tata usaha negara dan perdata itulah, Kejaksaan Agung lantas “mengambil” kasus ini. Kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini, antara lain Joko Tjandra, Syahril, Pande Lubis, Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng. Mereka dituduh melakukan korupsi uang negara. Kejaksaan menyita uang Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.
          Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejumlah pihak pernah tersangkut dalam skandal Bank Bali. Namun, hingga kini hanya tiga orang yang dijebloskan ke penjara. Sebelum Syahril dan Joko Tjandra, Wakil Kepala BPPN Pande Lubis lebih dulu dihukum 4 tahun penjara.
          Sementara berdasarkan hasil investigasi ICW tahun 1999, beberapa nama lain yang disebut-sebut diduga kuat juga terlibat dalam skandal Bank Bali seperti Marimutu Manimaren, Setya Novanto, Glen Yusuf, Farid Harianto, Bambang Subiyanto,  JB Sumarlin,  dan AA Baramuli.
          Kendati yang menjadi tersangka lumayan banyak, ternyata belakangan yang diadili hanya tiga orang: Joko Chandra, Syahril, dan Pande Lubis.

Kronologi Kasus
·      26 Januari 1998 Terbit Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang jaminan atas kewajiban  pembayaran bank umum. Keputusan ini untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap  perbankan akibat likuidasi bank pada 1997.
·      8 Maret 1998 Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama BPPN dan BI, Nomor 1/BPPN/1998 dan Nomor 30 /270/KEP/DIR berisi petunjuk pelaksanaan penjaminan.
·      18 Maret 1998 Bank Bali mengirim surat ke BDNI untuk minta konfirmasi soal utang-utangnya yang  jatuh tempo pada 2 Maret 1998 sampai 16 Maret 1998 (6 transaksi).
·      9 Juli 1998 Tim manajemen BDNI melalui suratnya menyatakan, klaim atas kewajiban BDNI ke Bank Bali sudah diajukan ke BPPN.
·      21 Oktober 1998 Bank Bali kirim surat ke BPPN perihal tidak terbayarnya tagihan piutang di BDNI dan BUN yang timbul dari transaksi money market, SWAP, dan pembelian promissory notes. Tagihan pada BDNI (belum dihitung bunga) Rp 428,25 miliar dan US$ 45 juta. Sedangkan tagihan ke BUN senilai Rp 200 miliar.
·      27 Oktober 1998 BI menyampaikan secara tertulis ke tim pemberesan BDNI tentang penolakan untuk memproses lebih lanjut klaim Bank Bali dengan alasan klaim belum didaftar dan terlambat mengajukan klaim, satu klaim tidak terdaftar, dan satu klaim ditolak karena tidak termasuk dalam jenis kewajiban yang dijamin (transaksi forward-sell) senilai Rp 1,131 miliar.
·      23 Desember 1998 Bank Bali kembali mengirim surat ke BPPN perihal tagihan piutang ke BDNI dan BUN tidak kunjung berhasil. Bank Bali juga meminta BPPN membantu memecahkan masalah ini.
·      11 Januari 1999 Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Disepakati paling lambat tiga bulan kemudian tagihan itu sudah diserahkan ke Bank Bali. Kemudian, Bank Bali juga menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT Era Giat Prima Setya Novanto. Bank Bali menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya di BDNI, BUN, dan Bank Bira ke PT EGP. Total tagihan itu mencapai Rp 3 triliun.
·      12 Januari 1999 Wakil Ketua BPPN Pande Lubis mengirim surat ke Bank Bali. Isinya, BPPN sedang mengumpulkan dan mempelajari data mengenai transaksi Bank Bali untuk mencari  pemecahan masalah.
·      15 Februari 1999 BPPN meminta bantuan BI untuk melakukan verifikasi atas tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN dari segi kewajaran dan kebenarannya.
·      16 Februari 1999 BI tolak usulan Pande Lubis untuk meneliti kembali klaim Bank Bali karena sebelumnya BI sudah menyatakan secara administrasi tidak berhak.
·      18 Februari 1999 Pande Lubis mengeluarkan memo kepada Erman Munzir yang berisi usulan untuk memeriksa ulang klaim Bank Bali. Erman kemudian mengaku telah minta Direktur UPMB I memprioritaskan klaim Bank Bali.
·      22 Maret 1999 BI melakukan verifikasi terhadap tagihan-tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN. Hasilnya, antara lain, tidak ditemukan indikasi ketidakbenaran dan ketidakwajaran transaksi SWAP, forward dan L/C antara Bank Bali dengan BDNI, transaksi pembelian promes yang di-endorse BUN belum sesuai dengan prinsip praktek perbankan yang berhati-hati.
·      29 Maret 1999 PT EGP memberikan surat kuasa ke Bank Bali untuk dan atas nama PT EGP menagih ke BUN piutang beserta bunganya sebesar Rp 342,919 miliar dan mengkreditkannya ke rekening perusahaan itu. Hal serupa dilakukan terhadap penagihan piutang beserta bunganya ke BDNI yang besarnya Rp 1, 277 triliun dan mengkreditkannya ke rekening PT EGP.
·      1 April 1999 Bank Bali mengirim surat ke BPPN. Isinya ralat tentang jumlah tagihan ke BDNI dan BUN.
·      9 April 1999 BPPN menolak klaim tagihan Bank Bali terhadap BUN. Pengecualian terhadap BDNI. Meski begitu, harus ada persetujuan dari Bank Indonesia atau Menteri Keuangan.
·      14 Mei 1999 Revisi Surat Keputusan Bersama Program Penjaminan Pemerintah:
·         Keterlambatan administratif bisa diterima selama tagihan valid.
·         Pengajuan klaim dapat dilakukan oleh salah satu pihak, baik debitor atau kreditor.
·         Ketidakberlakuan penjaminan diperluas sehingga mencakup kewajiban yang berasal dari pihak terkait.
·         Dana publik yang berasal dari perusahaan Asuransi dan Dana pensiun dikeluarkan dari kelompok pihak terkait.
·      1 Juni 1999 BPPN meminta BI melakukan pembayaran dana antarbank BB sebesar Rp 904 miliar. Dana Rp 904 miliar dari BI mengucur ke rekening BB di BI (piutang berikut bunganya).
·      3 Juni 1999 BPPN instruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan).
·      9 Juni 1999 Setelah uang keluar dari BI, janji PT EGP menyerahkan surat-surat berharga  pemerintah yang harusnya jatuh tempo pada 12 Juni 1999 malah diubah dalam perjanjian  penyelesaian. Isinya, Bank Bali agar memindahbukukan dana sebesar Rp 141 miliar ke PT EGP. Alasannya, tagihan Bank Bali dari BI hanya Rp 798 miliar, sehingga dikurangkan saja dengan uang yang mengalir dari BI sebesar Rp 904 miliar.
·      20 Juli 1999 Standard Chartered Bank melaporkan hasil due diligence dan menemukan:
·         Terjadi tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank sebesar Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antarbank sebesar Rp 905 miliar.
·         Adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen, BPPN menolak untuk menerima kerugian tambahan tersebut sebagai bagian dari rekapitalisasi.
·      23 Juli 1999 Penyerahan Bank Bali dari Bank Indonesia ke BPPN berdasarkan SK Gubernur BI no 1/14/Kep Dpg/1999 menyusul terlampauinya batas waktu pencapaian kesepakatan antara Standard Chartered Bank dan pemegang saham Bank Bali.
·      30 Juli 1999 Ahli hukum perbankan Pradjoto membeberkan jaringan money politics, dalam transaksi penagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI, BUN dan Bank Bira senilai Rp 3 triliun, yang melibatkan Setya Novanto (Dirut PT EGP), dengan dugaan adanya dukungan sejumlah pejabat tinggi negara.
·      5 Agustus 1999 BPPN membentuk tim investigasi di bawah pengawasan International Review Committee untuk menginvestigasi kebenaran transaksi cessie, meneliti dasar hukumnya, menelaah proses pengambilan keputusan atas transaksi, melakukan pemeriksaan, penelitian,  pengumpulan data, dan penyelidikan terhadap pengalihan dana yang dilakukan Bank Bali ke PT EGP.
·      27 September 1999 Pejabat sementara Jaksa Agung Ismudjoko SH mengungkapkan, tim penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin ketua tim Pengkaji Pidana Khusus Ridwan Mukiat siap menyidik skandal Bank Bali dengan mencoba memanggil orang-orang yang diduga terkait dalam kasus Bank Bali.
·      7 Oktober 1999 Presiden BJ Habibie telah menyetujui pemeriksaan tiga pejabat tinggi di kabinet waktu itu, salah satunya Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, sebagai saksi dalam kasus skandal Bank Bali.
·      29 November 1999 Kejaksaan Agung menyatakan telah menerima surat izin pemeriksaan Syahril Sabirin. Pemeriksaan Syahril menjadi menarik setelah Wakil Dirut Bank Bali Firman Soetjahja saat diperiksa tim penyidik mengakui adanya pertemuan di Hotel Mulia pada 11 Februari 1999 yang membahas soal cessie.
·      5 Juni 2000 Gubernur BI Syahril Sabirin resmi jadi tersangka kasus Bank Bali. Dia dipersalahkan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian yang merupakan prinsip perbankan.
·      21 Juni 2000 Syahril Sabirin ditahan di Kejaksaan Agung.
·      28 Agustus 2000 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Soedarto membebaskan Joko dari tuntutan hukum. Majelis berpendapat, kasus Joko bukan termasuk  pidana, melainkan perdata. Sebelumnya, jaksa Antasari Azhar menuntutnya 18 bulan  penjara.
·      28 Juni 2001 Mahkamah Agung kembali memenangkan Djoko S. Tjandra. Majelis Hakim Agung memperkuat argumentasi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, satu anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar, mengajukan dissenting opinion dengan menyatakan Djoko bersalah melakukan korupsi.
·      13 Maret 2002 Syahril Sabirin divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dihukum tiga tahun penjara.
·      Maret 2002 Mahkamah Agung menolak gugatan EGP di PTUN yang meminta agar surat keputusan mengenai pembatalan pengalihan tagihan Bank Bali ke EGP oleh BPPN dicabut.
·      Agustus 2002 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Syahril Sabirin dari semua dakwaan.
·      12 Juni 2003 Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk minta petunjuk.
·      17 Juni 2003 Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
·      19 Juni 2003 BPPN minta fatwa MA dan penundaan eksekusi putusan MA yang membebaskan Joko S. Tjandra. Alasannya, ada dua putusan MA yang bertentangan.
·      25 Juni 2003 Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya, MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi.

Kerugian Negara Akibat Kasus Bank Bali
Berdasarkan pemaparan diatas, kerugian yang diderita oleh Negara akibat kasus cessie Bank Bali adalah Rp 546.166.116.369. Hal ini dikarenakan uang yang dikucurkan untuk penyelesaian pinjaman antar Bank oleh Negara melalui BPPN tidak dilakukan melalui  prosedur yang benar dan regulasi atas penyelesaian pinjaman itu telah “dibolak - balik” melalui cara-cara politik agar meloloskan niatan para tersangka.


Berikut adalah ringkasan topik mengenai kasus Bank Bali:
1.      Waktu berlangsungnya peristiwa tersebut: 26 Januari 1998 sampai 25 Juni 2003
2.      Orang yang terlibat terkait kasus Bank Bali:  Djoko Soegiarto Tjandra, Setya Novanto, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Rudy Ramli, Tanri Abeng, Marimutu Manimaren, Glen Yusuf, Farid Harianto, Bambang Subiyanto,  JB Sumarlin,  dan Agung Arnold Baramuli.
3.      Aliran dana hasil kejahatan pada kasus Bank Bali dan jumlahnya: Kasus korupsi Bank Bali berawal pada saat pemilik Bank Bali, Rudi Ramli. Kesulitan menagih piutangnya pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara pada tahun 1997. Nilai dari piutang tersebut sekitar 3 Triliun Rupiah. Setelah  beberapa waktu, usaha penagihan tersebut tidak membawa hasil. Bahkan ketiga bank tersebut masuk ke dalam daftar bank yang akan “disehatkan” oleh Badan Penyehatan Perbankan  Nasional.
4.      Perkiraan kerugian yang dialami oleh Negara: Kerugian yang dialami oleh Negara akibat kasus Bank Bali adalah Rp 546.166.116.369.
5.      Posisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi politik, pemerintahan atau badan usaha: Djoko Soegiarto Tjandra dan  Setya Novanto (Direksi PT. Era Giat Prima), Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli (Direktur Utama Bank Bali), Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN), Marimutu Manimaren (Wakil Bendahara Partai Golkar), Glen Yusuf (Kepala BPPN), Farid Harianto (Mantan Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional), Bambang Subiyanto (Menteri Keuangan),  JB Sumarlin (Kepala Badan Pengusahaan Batam),  dan Agung Arnold Baramuli (Ketua Dewan Pertimbangan Agung).
6.      Hukuman yang diberikan kepada terpidana: Pande Lubis dihukum empat tahun penjara berdasar putusan MA tahun 2004.
7.      Orang-orang yang lolos dalam kasus Bank Bali: Djoko Soegiarto Tjandra, Setya Novanto, Syahril Sabirin, Rudy Ramli, Tanri Abeng, Marimutu Manimaren, Glen Yusuf, Farid Harianto, Bambang Subiyanto,  JB Sumarlin,  dan Agung Arnold Baramuli.



Daftar Pustaka

By :
Free Blog Templates