Kamis, 30 Maret 2017

Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia pada masa penjajahan, berikut adalah penjelasannya :

A.     MASA PENDUDUKAN BELANDA
Pada masa penjajahan,Indonesia menerapkan system perekonomian monopolis. Dimana setiap kegiatan perekonomian dijalankan sesuai dengan penguasa perdagangan Indonesia saat itu. VOC adalah lembaga yang menguasai perdagangan Indonesia pada saat itu, disini VOC menerapkan peraturan dan strategi agar mereka tetap menguasai perekonomian Indonesia. Peraturan-peraturan yang diterapkan VOC seperti kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC dan pajak hasil bumi yang dirancang untuk mendukung monopoli tersebut. Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi,antara lain meliputi: 
·         Hak mencetak uang.
·         Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai.
·         Hak menyatakan perang dan damai.
·         Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri.
·         Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja.

Disamping itu VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah agar tetapa tinggi.antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah. Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan monopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang hanya 1.050 metrik ton. Dan pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
·         Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar,terutama     perang Diponegoro.
·         Penggunaan tentara sewaan memebutuhkan biaya besar.
·         Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
·         Pembagian deviden kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.

B.     MASA PENDUDUKAN INGGRIS (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan menggunakan pajak tanah, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
·         Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang.
·         Pegawai pengukur tanah dari inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
·         Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena inggris tak mampu mengakui suksesi jabatan secara turun temurun.

C.      MASA CULTUUR STELSEL (SISTEM TANAM PAKSA)
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas insiatif Van Den Bosch. Yang bertujuan untuk memproduksi berbagai komoditi yang permintaannya ada  di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet  dan  kelapa sawit. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, akan tetapi sangant  menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent (pajak tanah) dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuur stelstel sangat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodipun masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi non agraris.
Dengan menerapkan cultuur stelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar.

D.     SISTEM EKONOMI PINTU TERBUKA (LIBERAL)
            Dengan adanya dorongan dari kaum humanis belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Maka dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
1.      Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
2.      Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
3.      Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas,   pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang   sesungguhnya.

Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribadi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.

E.      MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.

F.      PEREKONOMIAN INDONESIA MASA ORDE LAMA (1945 – 1966)
Pada awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan luar negeri. Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank sentral masih berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak ekslusif untuk mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk memelihara stabilitas nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan dari pengambilan keputusan politik.
Masa orde lama dimulai dari tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia merdeka. Pada saat itu, keadaan ekonomi Indonesia mengalami kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang tinggi. Indonesia pernah mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi konflik  politik yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet hanya dua tahun sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode 1950an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial, struktur ini disebut dual society dimana struktur dualisme menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun tidak langsung. Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk dibandingkan pada masa penjajahan Belanda. Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai meramba ke proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli. Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk. Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa. Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai dekat dengan negara-negara komunis. Untuk lebih jelas nya berikut ini adalah penjelasan terperinci nya.
G.     MASA PASCA KEMERDEKAAN (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
·         Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. 
1.      Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
2.      Kas Negara kosong.
3.      Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
o   Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946.
o   Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke, mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
o   Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
o   Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
o   Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

H.    MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950 – 1957)
Permasalah ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia masih sama seperti sebelu            mnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1.      Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU No. 24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
2.      Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
3.      Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
I.       MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1.      Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut : Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2.      Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
3.      Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

J.        MASA ORDE BARU (1966-1997)
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
            Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian. Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Kelebihan Pada Masa Orde Baru :
a.        Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000.
b.       Sukses transmigrasi.
c.        Sukses KB.
d.       Sukses memerangi buta huruf. 
e.        Sukses swasembada pangan. 
f.         Pengangguran minimum. 
g.        Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 
h.       Sukses Gerakan Wajib Belajar. 
i.         Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh. 
j.         Sukses keamanan dalam negeri. 
k.       Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
l.         Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Kekurangan Orde Baru :
a.        Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme. 
b.       Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara   pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke      pusat. 
c.        Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua. 
d.       Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh   tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya. 
e.        Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin). 
f.         Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan. 
g.        Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel.

K.     MASA REFORMASI
Pemerintahan reformasi diawali pada tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta). Pemerintahan reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang sudah mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu :
·         Bapak B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Pada saat pemerintahan presdiden B.J Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan perubahan-perubahan yang cukup berarti di bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk menstabilkan keadaan politik di Indonesia. Presiden B.J Habibie jatuh dari pemerintahannya karena melepaskan wilayah Timor-timor dari Wilayah Indonesia melalui jejak pendapat.

·         Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.        Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
b.       Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
c.        Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
d.       Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

·         Ibu Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
 Pada tahun 2001 sampai 2004 perhitungan PDB berdasarkan tahun dasar 2000, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata sebesar 4,6 persen. Akhirnya pada masa reformasi yaitu tahun 1999 sampai dengan tahun 2004, pergeseran itu semakin cenderung ke sektor Industri Pengolahan yaitu 27,8 persen pada tahun 2000 menjadi 28,3 persen pada tahun 2004, sedangkan sektor lainnya semakin mengecil. Sektor Pertanian pada tahun 2000 turun menjadi 15,6 persen dan turun lagi menjadi hanya 15,4 persen pada tahun 2004;sektor pertambangan dan penggalian, sempat naik di tahun 2000 yaitu menjadi 12,1 persen tetapi turun lagi menjadi 8,6 persen pada tahun 2004. Sedangkan sektor lainnya turun menjadi 44,6 persen pada tahun 2000 dan 47,7 persen pada tahun 2004.
Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada masa recovery, kedua dan kebangkitan kembali perekonomian Indonesia 2000-2004 bertumbuh sebesar 3-4 persen. Mulai tahun 2000 sampai 2004 angkanya semakin naik, 3,1 persen tahun 2000 menjadi 4,9 persen tahun 2004. Pengeluaran konsumsi pemerintah juga mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi semakin mengecil bila dibandingkan antar tahun 2000-2004. Sebesar 6,5 persen tahun 2000 menjadi 2,0 persen tahun 2004. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto bertumbuh cukup bagus mulai sebesar 14,2 persen pada tahun 2000 menjadi 15,7 persen tahun 2004. Hal ini mengindikasikan sudah mulai kembali bergeraknya roda investasi yang pada masa sebelumnya sewaktu krisis ekonomi sempat mandek dan berhenti. Pertumbuhan ekspor barang dan jasa juga semakin membaik, walaupun sempat mengalami stagnasi dan pertumbuhan negatif tahun 2001 dan 2002 sebesar 0,6 dan 1,2 tetapi kemudian memberikan pertumbuhan yang tinggi tahun 2000 sebesar 26,5 persen dan 8,5 persen tahun 2004. Tahun 2000-2004 dalam masa pemulihan ekonomi kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga naik kembali dari 61,7 persen tahun 2000 menjadi 66,5 persen tahun 2004. Kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah yang sempat menurun tahun-tahun sebelumnya pada masa pemulihan ekonomi ini agak naik sedikit dari sebesar 6,5 persen tahun 2000 menjadi 8,2 persen tahun 2004. Pembentukan Modal Tetap Bruto kontribusinya masih belum sebesar masa-masa sebelum pemulihan ekonomi yang biasanya di atas 20 persen, yaitu 19,9 persen tahun 2000 menjadi 21,0 persen, bahkan tahun 2003 hanya sebesar 18,9 persen. Begitu pula dengan kontribusi impor barang dan jasa juga menurun dari 30,5 persen tahun 2000 menjadi 26,9 persen tahun 2004.
Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gusdur.Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri mauoun swasta. Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi pemerintahan Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih baik.
Saat Ibu Megawati memerintah, nilai tukar rupiah kita berada pada posisi stabil dikisaran Rp. 8000 per 1 dollar. Hal ini berhasil dipertahankan hingga akhir masa jabatannya.Pencapaian yang dilakukan pada masa pemerintahan Ibu Megawati itu, termasuk istimewa, karena sebelumnya, nilai tukar rupiah berada pada posisi antara Rp. 9000 hingga Rp. 14 ribu rupiah.
Setahun usia pemerintahan Megawati Soekarnoputri dianggap belum banyak memberikan kemajuan di bidang perekonomian. Publik menilai, berbagai upaya perbaikan ekonomi yang dilakukan pemerintah masih terasa gamang. Sekalipun dalam beberapa persoalan upaya pemerintah saat ini masih relatif lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya, semua itu secara langsung belum menyentuh kehidupan masyarakat.Kesimpulan demikian merupakan salah satu rangkuman dari jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan di 13 ibu kota provinsi. Jajak pendapat yang diselenggarakan untuk keempatkalinya ini secara umum mengungkap berbagai ketidakpuasan responden terhadap kinerja pemerintah di bidang perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat.
Dalam anggapan publik, kinerja pemerintahan Megawati tiga bulan terakhir masih belum beranjak dari triwulan sebelumnya.Jika dalam jajak pendapat bulan kesembilan pemerintahan Megawati sempat terbersit titik cerah dan optimisme dari sebagian masyarakat, maka pada saat ini mulai terjadi stagnasi kepuasan dan titik balik optimisme publik.
Bahkan, apabila mengamati pola umum ekspresi ketidakpuasan publik saat ini, tak bisa dielakkan bahwa ada kecenderungan merosotnya pamor pemerintahan Megawati di bidang perekonomian.Sikap pesimistis tersebut tercermin dari kenaikan persentase responden yang terekam.Apabila proporsi ketidakpuasan responden pada penilaian sembilan bulan pemerintahan mencatat angka 66 persen, kini naik menjadi 70 persen.
Parahnya, ungkapan ketidakpuasan publik ini tersebar dengan derajat yang tinggi pada setiap kalangan, baik dari responden yang mengaku sebagai simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) maupun non-PDI Perjuangan.Mereka yang mengaku pada pemilu lalu memilih PDI-P, misalnya, hampir dua per tiga bagian responden (62 persen) kalangan ini mengaku tidak puas terhadap kinerja presiden. Terlebih bagi mereka yang mengaku simpatisan partai lain, ungkapan ketidakpuasan disuarakan oleh 72 persen responden.
Derajat ketidakpuasan juga terjadi pada seluruh wilayah pengumpulan pendapat ini. Baik mereka yang bermukim di Jakarta, Medan, maupun Jayapura menunjukkan ekspresi ketidakpuasan yang relatif sama. Dengan demikian, tampaknya sikap publik berlaku universal, menganggap bahwa kondisi perekonmian yang mereka rasakan setahun terakhir ini memang tidak juga membaik.
Ada beberapa indikator penyikapan publik terhadap kinerja pemerintah dalam bidang perekonomian dan kesejahteraan rakyat ini.Dalam bidang perekonomian, penguatan nilai rupiah selama dua triwulan belakangan dianggap merupakan nilai lebih pemerintah. Kondisi demikian memang masih lebih baik jika dilihat dari era pemerintahan sebelumnya dengan ukuran periode waktu yang sama.
Namun, kondisi tersebut tampaknya juga mulai menampakkan titik jenuh. Setelah terus-menerus menguat hingga titik Rp 8.000-an dari Rp 10.000, pada awal tahun ini, belakangan rupiah mulai merambat kembali, nyaris menyentuh Rp 9.000 per dollar AS. Fluktuasi rupiah tersebut terbukti menahan optimisme publik yang tadinya sempat berbinar.Saat ini, tidak kurang dari 33 persen yang merasa puas.Padahal, tiga bulan sebelumnya tingkat kepuasan mencapai proporsi 36 persen responden.
Sekalipun upaya pemerintah saat ini masih dianggap lebih baik dari periode sebelumnya, ungkapan ketidakpuasan publik tetap mendominasi segenap penilaian setahun usia pemerintahan. Pasalnya, segenap upaya pemerintah secara langsung belum menyentuh keseharian ekonomi masyarakat.Dalam praktik, membaiknya nilai tukar rupiah tidak diikuti oleh penurunan ataupun stabilitas harga barang kebutuhan pokok.Tidak hanya itu, beberapa kebijakan kenaikan tarif yang didasarkan pada kenaikan bahan bakar minyak justru semakin memperparah beban ekonomi masyarakat.Bercermin dari pengalaman itu, sebanyak 77 persen responden merasa tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok.
Dari sisi penanganan bidang kesejahteraan masyarakat, penilaian publik atas kinerja pemerintahan Megawati tidak juga menampakkan hasil menggembirakan.Berbagai indikator yang terekam dari jajak pendapat ini memperlihatkan mulai menurunnya pamor Me-gawati dalam menangani masalah kesejahteraan sosial.Melihat sisi penyediaan lapangan kerja, misalnya, sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tak juga membaik, penyediaan lapangan kerja baru seakan menjadi tembok yang sukar ditembus.Angka 40 juta penganggur yang ada nyaris tak berkurang secara signifikan sejak awal Masa Pemerintahan Megawati.Melihat kenyataan itu, tak heran jika hampir 85 persen responden menyuarakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah menyediakan lapangan kerja.
Tingginya ketidakpuasan dalam bidang kesejahteraan terekam pula dalam penilaian publik atas penanganan sektor pendidikan.Dibanding triwulan sebelumnya, persentase ketidakpuasan responden membesar menjadi 63 persen.Padahal, tiga bulan sebelumnya ketidakpuasan dalam pendidikan  diungkapkan oleh 55 persen responden.Bisa jadi, peningkatan ini berkaitan dengan berbagai problem pendidikan dalam kualitas dan kuantitas persekolahan yang acap dikeluhkan masyarakat di era tahun ajaran baru.Berbagai peningkatan dan stagnasi kekecewaan publik terhadap kondisi perekonomian dan kesejahteraan rakyat tak ayal memupuk penurunan optimisme publik atas kinerja Megawati. Secara akumulatif, jika pada tiga jajak pendapat triwulanan terdahulu tingkat keyakinan publik selalu menaruh harapan yang tinggi pada Megawati, maka mulai satu tahun usia pemerintahan keyakinan itu menurun hingga kini pada posisi berimbang. Saat ini, sebanyak 46 persen responden tidak lagi merasa yakin bahwa di masa yang akan datang pemerintahan Megawati akan mampu memperbaiki keadaan ekonomi. Namun, sebanyak 45 persen responden lain masih menaruh keyakinan pada kemampuan pemerintah dalam memperbaiki persoalan-persoalan perekonomian. Peningkatan rasa pesimistis publik ini tentu harus dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan.Terlebih tren peningkatan ini juga sudah terjadi di era pemerintahan sebelumnya.Artinya, selama terjadi perubahan kepemimpinan belum ada satu pun yang mampu memberikan kepuasan masyarakat. Sebenarnya, apa yang menjadi harapan publik tidak beranjak dari dua persoalan ini, yaitu mereka berharap pemerintah secepatnya mengendalikan harga ba-rang kebutuhan pokok dan penciptaan lapangan pekerjaan. Kedua persoalan tersebut menjadi prioritas mengingat keduanya secara langsung berkaitan dengan kehidupan ekonomi mereka.

·         Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004-2014)
Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang sikapnya kontroversial yaitu :
1.      Mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
2.      Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
3.      Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
4.      Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan pada pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor tetapi masih tertinggal jauh dari jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan sistem Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi money politic dan koruptor-koruptor tidak akan jera dan banyak yang mengulanginya.
5.      Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan persediaan bahan bakar minyak semakin menipis dan harga di pasaran tinggi.
Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF (International Monetary Fund). Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Pengeluaran Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan sering terjadinya bencana alam yang menimpa negeri ini.
·         Bapak Joko Widodo (20 Oktober 2014 – Sekarang)
Kebijakan Ekonomi Tahap 1 :
1.      Penguatan pembiayaan ekspor melalui National Interest Account.
Peraturan Menteri Keuangan tentang Penugasan Kepala Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional, deregulasinya penerbitan Keputusan Menteri Keuangan mengenai Pembentukan Komite Penugasan Khusus Ekspor.
Komite ini yang anggotanya berasal dari beberapa kementerian/lembaga, menurut Menko Perekonomian, akan bertugas memastikan pelaksanaan National Interest Account berjalan efektif. Proyek yang terpilih harus memenuhi kriteria, ada 6246 kriteria.
2.      Penetapan harga gas untuk industri tertentu di dalam negeri.
3.      Kebijakan pengembangan kawasan industri.
4.      Kebijakan memperkuat fungsi ekonomi koperasi.
5.      Kebijakan simplikasi perizinan perdagangan.
6.      Kebijakan simplifikasi visa kunjungan dan aturan pariwisata.
7.      Kebijakan elpiji untuk nelayan.
8.      Stabilitas harga komiditi pangan.
9.      Melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan menggerakkan ekonomi pedesaan.
10.  Pemberian Raskin atau Beras Kesejahteraan untuk bulan ke-13 dan ke-14.

            Kebijakan ekonomi Tahap 2:
1.      Kemudahan Layanan Investasi 3 Jam.
2.      Pengurusan Tax Allowance dan Tax Holiday Lebih Cepat.
3.      Pemerintah Tak Pungut PPN Untuk Alat Transportasi.
4.      Insentif fasilitas di Kawasan Pusat Logistik Berikat.
5.      Insentif pengurangan pajak bunga deposito.
6.      Perampingan Izin Sektor Kehutanan.

Kebijakan ekonomi Tahap 3:
1.       Penurunan harga BBM, listrik dan gas.
2.       Perluasan penerima KUR.
3.       Penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.

Kebijakan ekonomi Tahap 4:
1.          Kebijakan pengupahan yang adil, sederhana dan terproyeksi.
2.          Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang lebih murah dan luas.
3.          Kebijakan Kredit Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk ekspor guna mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kebijakan ekonomi tahap 5:
1.          Diskon tarif pajak penghasilan (PPh) untuk perusahaan yang melakukan revaluasi asset.
2.          Penghapusan pajak berganda untuk kontrak kolektif dan investasi real estate (DIRE)/Real Estate Investment Trust (REIT).

Paket kebijakan ekonomi Tahap 6:
1.          Insentif pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
2.          Perizinan impor bahan baku obat.
3.          Regulasi sumber daya air


Sumber :

Nama Anggota Kelompok :
1.       Nurul Hijriyati           (25216621)
2.       Yasita Azalea Agusfine          (27216726)
3.       Pradhitya Wahyutama          (25216770)

By :
Free Blog Templates